Rabu, 26 Desember 2012

SEJARAH PERKEMBANGAN MADRASAH IBTIDAIYAH DI INDONESIA



SEJARAH PERKEMBANGAN MADRASAH IBTIDAIYAH DI INDONESIA
OLEH : Eko Hadi Susanto
Perjalanan Madrasah Ibtidaiyah di Indonesia

A. PENGERTIAN MADRASAH
            Kata madrasah dalam bahasa Arab berarti tempat atau wahana untuk mengenyam proses pembelajaran. Dalam bahasa Indonesia madrasah disebut dengan sekolah yang berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran. Karenanya, istilah madrasah tidak hanya diartikan sekolah dalam arti sempit, tetapi juga bisa dimaknai rumah, istana, kuttab, perpustakaan, surau, masjid, dan lain-lain, bahkan seorang ibu juga bisa dikatakan madrasah pemula. sementara Karel A. steenbrik justru membedakan antara madrasah dan sekolah-sekolah, dia beralasan bahwa antara madrasah dan sekolah mempunyai ciri yang berbeda. Meskipun demikian, dalam konteks ini penulis cenderung untuk menyamakan arti madrah dan sekolah.

            Pertama kali timbul istilah “Madrasah” adalah berkenaan dengan upaya khalifah Abbasiyah Harun al-Rasyid guna menyediakan fasilitas belajar ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu penopang lainnya dilingkungan klinik (Bimaristain) yang dibangunya di Baghdad. Komplek ini dikenal dengan sebutan “Madrasah Baghdad”. Namun kelihatannya pemakaian istilah tersebut cenderung anatema, terutama kalau diperhatikan tidak adanya kelanjutan dari madrasah Baghdad, kecuali munculnya Bait al-Hikmah dimasa Makmun.[1]
            Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah wadah atau tempat belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan keahlian lainnya yang berkembang pada zamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah madrasah bersumber dari Islam itu sendiri.[2]

B. Sejarah madrasah di indonesia
     Madrasah adalah saksi perjuangan pendidikan yang tak kenal henti. Pada jaman penjajahan Belanda madrasah didirikan untuk semua warga.Sejarah mencatat , Madrasah pertama kali berdiri di Sumatra, Madrasah Adabiyah ( 1908, dimotori Abdullah Ahmad), tahun 1910 berdiri madrasah Schoel di Batusangkar oleh Syaikh M. Taib Umar, kemudian M. Mahmud Yunus pada 1918 mendirikan Diniyah  Schoel sebagai lanjutan dari Madrasah schoel, Madrasah Tawalib didirikan Syeikh Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang (1907). lalu, Madrasah Nurul Uman didirikan H.  Abdul Somad di Jambi.
     Madrasah berkembang di jawa mulai 1912. ada model madrasah pesantren NU dalam bentuk Madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Mualimin Wustha, dan Muallimin  Ulya ( mulai 1919), ada madrasah yang mengaprosiasi sistem pendidikan  belanda plus, seperti muhammadiyah ( 1912) yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin, Mubalighin, dan Madrasah Diniyah. Ada juga model AL-Irsyad ( 1913) yang mendirikan Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassus, atau model Madrasah PUI di Jabar yang mengembangkan madrasah pertanian, itulah singkat tentang sejarah madrasah di indonesia.
Dari jaman penjajahan, orde lama, orde baru, era repormasi sampai era sby, nasib madrasah di indonesia sangatlah memperihatinkan dan seolah-olah di anaktirikan oleh pemerintah, padahal ada banyak sekali elit politik yang duduk di kursi DPR, MPR, ISTANA dan lembaga kebijakan negara lainnya yang lahir dan berlatar belakang dari madrasah, lulusan madrasah tidak bisa di pandang sebelah mata atau juga di anggap remeh, justru lulusan-lulusan madrasah memiliki nilai lebih bukan saja karen faktor agama yang diperdalam tapi banyak faktor lainnya.[3]
Organisasi-organisasi yang mempunyai peranan besar dalam perkembangan madrasah di Indonesia antara lain :
1.    Nahdhatul ‘Ulama (NU) NU didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya dengan tokoh yang memprakasai berdirinya K.H. Hasyim’Asyari dan K.H Wahab Hasbullah.
2.    Perhimpunan Umat Islam
Ini merupakan fusi Perikatan Umat Islam yang didirikan di Majalengka Jawa Barat oleh K.H A.Halim pada rahun 1917 dan Al-Ittihad Al-Islamiyah yang didirikan di Suka Bumi oleh K.H A.Sanusi pada tahun 1931.
3.    Persatuan Islam (Persis)Persis merupakan organisasi sosial, pendidikan, dan keagamaan yang didirikan di Bandung pada 17 September 1923 atas prakasa K.H M.Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dua orang saudagar asal Palembang yang telah lama menetap di Jawa Barat. Persis memiliki beberapa lembaga pendidikan, di antranya Taman Kanak-kanak HIS, sekolah MULO, Sekolah Guru dan beberapa pesantren.
4.    Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI)
PERTI merupakan organisasi sosial yang didirikan pada 5 Mei 1930 di Candung, Bukit Tinggi. Bergerak dalam bidang sosial, pendidikan dan dakwah. Pendirinya adalah para alim ulama’ tersohor di Sumatra Barat, di antaranya ialah Syekh Suleman Arrasuli Candung, Syekh Muhammad Abbas Al-Kadi Bukit Tinggi, Syekh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang, dan Syekh Abdul Wahid Tabek Gadang.
5.    Perserikatan Ulama’
Organisasi ini didirikan pada tahun 1917 di Majalengka oleh K.H Abdul Halim.
6.    Al-Jam’iyatul Washiliyah Al-Jam’iyatul Washiliyah adalah organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang sosial keagamaan di Indonesia. Organisasi ini didirikan di Medan, Sumatra Utara pada 30 November 1930 (9 Rajab 1349 H). Organisasi ini didirikan atas inisiatif sekelompok siswa Maktab Islamiyah Tapanuli Medan yang tergabung dalam sebuah kelompok diskusi yang bernama “Debating Club”.[4]

C.    Perkembangan Madrasah di Indonesia
a. Masa Penjajahan
Pada masa pemerintah kolonial Belanda Madrasah tumbuh atas dasar semangat pembaharuan dikalangan umat Islam. Pertumbuhan Madrasah menunjukkan adanya pola respon umat Islam yang lebih progresif, tidak semata- mata bersifat defensif terhadap pendidikan Hindia Belanda, kebijakan pemerintah Hindia Belanda sendiri terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya militansi kaum muslimin terpelajar. Dalam banyak kasus sering terjadi guru-guru agama dipersalahkan ketika menghadapi gerakan kristenisasi dengan alasan ketertiban dan keamanan.
            Madrasah pada masa Hindia Belanda mulai tumbuh meskipun memperoleh pengakuan yang setengah-setengah dari pemerintah Belanda. Tetapi pada umumnya madrasah- madrasah itu, baik di Minangkabau, Jawa dan Kalimantan, berdiri semata-mata karena kreasi tokoh dan organisasi tertentu tanpa dukungan dan legitimasi dari pemerintah.
            Pemerintah Kolonial menolak eksistensi pondok pesantren dalam sistem pendidikan yang hendak dikembangkan di Hindia Belanda. Kurikulum maupun metode pembelajaran keagamaan yang dikembangkan di pondok pesantren bagi pemerintah kolonial, tidak kompatibel dengan kebijakan politik etis dan modernisasi di Hindia Belanda. Di balik itu, pemerintah kolonial mencurigai peran penting pondok pesantren dalam mendorong gerakan-gerakan nasionalisme dan prokemerdekaan di Hindia Belanda.
     Menyikapi kebijakan tersebut, tokoh-tokoh muslim di Indonesia akhirnya mendirikan dan mengembangkan madrasah di Indonesia didasarkan pada tiga kepentingan utama, yaitu: 


  1. Penyesuaian dengan politik pendidikan pemerintah kolonial.
  2. Menjembatani perbedaan sistem pendidikan keagamaan dengan sistem pendidikan modern.
  3. Agenda modernisasi Islam itu sendiri.
     Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengantarkan pendidikan Islam ke dalam babak sejarah baru, yang antara lain ditandai dengan pengukuhan sistem pendidikan Islam sebagai pranata pendidikan nasional. Lembaga-lembaga pendidikan Islam kini memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh dan berkembang serta meningkatkan kontribusinya dalam pembangunan pendidikan nasional. 
      Di dalam Undang-Undang itu setiap kali disebutkan sekolah, misalnya pada jenjang pendidikan dasar yaitu sekolah dasar, selalu dikaitkan dengan madrasah ibtidaiyah, disebutkan sekolah menengah pertama dikaitkan dengan madrasah tsanawiyah, disebutkan sekolah menengah dikaitkan dengan madrasah aliyah, dan lembaga-lembaga pendidikan lain yang sederajat, begitu pula dengan lembaga pendidikan non formal.[5]

 Kebijakan yang kurang menguntungkan terhadap pendidikan Islam masih berlanjut pada masa penjajahan Jepang, meskipun terdapat beberapa modifikasi. Berbeda dengan pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan Jepang membiarkan dibukanya kembali madrasah-madrasah yang pernah ditutup pada masa sebelumnya. Namun demikian, pemerintah Jepang tetap mewaspadai bahwa madrasah-madrasah itu memiliki potensi perlawanan yang membahayakan bagi pendidikan Jepang di Indonesia.
Dalam Undang- undang No. 4 tahun 1950 Jo No. 12 tahun 1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah dalam pasal 2 ditegaskan bahwa Undang-undang ini tidak berlaku untuk pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah agama. Dan dalam pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan agama di sekolah bukan masa pelajaran wajib dan bergantung pada persetujuan orang tua siswa. Dengan rekomendasi ini, madrasah tetap berada di luar sistem pendidikan nasional, tetapi sudah merupakan langkah pengakuan akan eksistensi madrasah dalam kerangka pendidikan nasional.

b. Madrasah Pada Masa Orde Lama.
 Madrasah pada Awal Masa Kemerdekaan. Di awal kemerdekaan, tidak dengan sendirinya madrasah dimasukkan kedalam system pendidikan nasional. Madrasah memang tetap hidup, tetapi tidak memperoleh bantuan sepenuhnya dari pemerintahan. Adanya perhatian pemerintah baru diwujudkan denagan PP No. 33 Tahun 1949 dan PP No. 8 Tahun 1950, yang sebelumnya telah dikeluarkan peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946, No. 7 Tahun 1952, No. 2 Tahun 1960 dan terakhir No. 3 Tahun 1979 tentang pemberian bantuan kepada madrasah. Ditinjau dari segi jenis madrasah berdasarkan kurikulum dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: Madrasah Diniyah, Madrasah SKB 3 Mentri dan Madrasah Pesantren. Madrasah Diniyah adalah suatu bentuk madrasah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama (diniyah).[6]

Memasuki awal orde lama, pemerintah membentuk departemen agama yang resmi berdiri pada Tanggal 3 Januari 1946. Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan pendidikan islam di Indonesia. Orientasi usaha departemen agama dalam bidang pendidikan islam bertumpu pada aspirasi umat islam agar pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah. Disamping Pada pengembangan madrasah itu sendiri.
 Salah satu perkembangan madrasah yang cukup menonjol pada masa orde lama ialah: Didirikan dan dikembangkannya pendidikan guru agama dan pendidikan hakim islam negri. madrasah ini menandai perkembangan yang sangat penting di mana madrasah dimaksudkan untuk mencetak tenaga-tenaga professional keagamaan, disamping mempersiapkan tenaga-tenaga yang siap mengembangkan madrasah.
Pada Tanggal 3 Desember 1960 keluar ketetapan MPRS no II/MPRS/1960 tentanng “garis-garis besar pola pembangunan nasional semesta berencana, tahapan pertama tahun 1961-1969” ketetapan ini menyebutkan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai di sekolah rakyat sampai universitas-universitas negri,dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta, apabila wali murid atau murid dewasa menyatakan keberatannya. Namun demikian, dalam kaitannya dengan madrasah ketetapan ini telah memberi perhatian meskipun tidak terlalu berarti, dengan merekomondasikan agar madrasah hendaknya berdiri sendiri sebagai badan otonom dibawah pengawasan departemen pendidikan dan kebudayaan.

c. Masa Orde Baru
Pembinaan Pemerintah Terhadap Madrasah
                 Usaha peningkatan dan pembinaan   dalam pendidikan madrasah ini kembali terwujud dengan adanya Surat Keputusan Besama (SKB)  pada tahun 1975  yang menegaskan bahwa : yang dimaksud madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan agama  Islam sebagai mata pelajaran dasar, yang diberikan sekurang-kurangnya 30% di samping matapelajaran umum.
1.    MadarasahIbtidaiyah setingkat dengan pendidikan dasar.
2.    Madrsah Tsanawiyah setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama
3.    Madrasah Aliyah setingkat dengan Sekolah Menengah Atas
Pembinaan dan pengembangan madrasah versi SKB Tiga menteri terus berlangsung  dengan tujuan mencapai mutu yang dicita-citakan. Penyamaan madrasah dengan sekolah umum tidak hanya dalam hal penjenjangan saja, namun juga dalam hal struktur program dan kurikulum juga mengalami pembakuan dan penyeragaman setidaknya itu diperkuat dengan terbitnya Keputusan Besama Menteri Pendidian dan kebudayaan dengan Menteri Agama  No. 0299/U/1984 dan No. 45 Tahun1984, tentang Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah. Perbedaan terlihat pada identitas madrasah, yang menjadikan pendidikan dengan pelajaran agama sebagai mata pelajaran dasar sekurang-kurangnya 30% di samping mata pelajaran  umum.[7]
                 Pada masa orde baru pemerintah mulai memikirkan kemungkinan mengintegrasikan madrasah ke dalam pendidikan nasional. Berdasarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga dimensi, yaitu Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1975, Nomor 037/4 1975 dan Nomor 36 tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah ditetapkan bahwa standar pendidikan madrasah sama dengan sekolah umum, ijazahnya mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum dan lulusannya dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas dan siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat. Lulusan Madrasah Aliyah dapat melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi umum dan agama.
 Pemerintah orde baru melakukan langkah konkrit berupa penyusunan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional. Dalam konteks ini, penegasan definitif tentang madrasah diberikan melalui keputusan-keputusan yang lebih operasional dan dimasukkan dalam kategori pendidikan sekolah tanpa menghilangkan karakter keagamaannya. Melalui upaya ini dapat dikatakan bahwa Madrasah berkembang secara terpadu dalam sistem pendidikan nasional. Pada masa orde baru ini madrasah mulai dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat mulai dari masyarakat kelas rendah sampai masyarakat menengah keatas.
            Sedangkan pertumbuhan jenjangnya menjadi 5 (jenjang) pendidikan yang secara berturut-turut sebagai
berikut :
1) Raudatul Atfal (Bustanul Atfal).
Raudatul Atfal atau Bustanul Atfal terdiri dari 3 tingkat :
1. Tingkat A untuk anak umur 3-4 tahun
2. Tingkat B untuk anak umur 4-5 tahun
3. Tingkat C untuk anak umur 5-6 tahun
2) Madrasah Ibtidaiyah.
Madrasah Ibtidaiyah ialah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran rendah serta menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum.
3) Madrasah Tsanawiyah
Madrasah Tsanawiyah ialah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran tingkat menengah pertama dan menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum.
4) Madrasah Aliyah.
Madrasah Aliyah ialah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran tingkat menengah keatas dan menjadikan mata pelajaran agama Islam. Sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum. Dewasa ini Madrasah Aliyah memiliki jurusan-jurusan : Ilmu Agama, Fisika, Biologi, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Budaya.
5) Madrasah Diniyah
Madrasah Diniyah ialah lembaga pendidikan dan pelajaran agama Islam, yang berfungsi terutama untuk memenuhi hasrat orang tua agar anak-anaknya lebih banyak mendapat pendidikan agama Islam. Madrasah Diniyah ini terdiri 3 tingkat :
1. Madrasah Diniyah Awaliyah ialah Madrasah Diniyah tingkat permulaan dengan kelas 4 dengan jam belajar sebanyak 18 jam pelajaran dan seminggu.
2. Madrasah Diniyah Wusta ialah Madrasah Diniyah tingkat pertama dengan masa belajar 2 (dua) tahun dari kelas I sampai kelas II dengan jam belajar sebanyak 18 jam pelajaran dalam seminggu.
3. Madrasah Diniyah Ula ialah Madrasah Diniyah tingkat menengah atas dengan masa belajar 2 tahun dari kelas I sampai kelas II dengan jumlah jam pelajaran 18 jam pelajaran dalam seminggu.

d. Masa Sekarang
Era globalisasi dewasa ini dan dimasa datang sedang dan akan mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia umumnya, atau pendidikan Islam, termasuk pesantren dan Madrasah khususnya. Argumen panjang lebar tak perlu dikemukakan lagi, bahwa masyarakat muslim tidak bisa menghindari diri dari proses globalisasi tersebut, apalagi jika ingin berjaya ditengah perkembangan dunia yang kian kompetitif di masa kini dan abad 21.
Globalisasi yang berlangsung dan melanda masyarakat muslim Indonesia sekarang ini menampilkan sumber dan watak yang berbeda. Proses globalisasi dewasa ini tidak bersumber dari Timur Tengah, melainkan dari barat, yang terus memegang supremasi dan hegemoni dalam berbagai lapangan kehidupan masyarakat dunia umumnya. Dominasi dan hegemoni politik barat dalam segi-segi tertentu mungkin saja telah “merosot”, khususnya sejak terakhirnya perang dunia kedua, dan “perang dingin”. Belum lama ini, tetapi hegemoni ekonomi dan sains-teknologi barat tetap belum tergoyahkan. Meski muncul beberapa kekuatan ekonomi baru, seperti Jepang dan Korea Selatan, tetapi “kultur” hegemoni ekonomi dan sains teknologinya tetap sarat dengan nilai-nilai Barat.
Melihat begitu derasnya pengaruh barat yang mengarah pada hegemoni terhadap masyarakat muslim dalam segala aspek kehidupannya, maka madrasah harus segera berbenah diri. Madrasah sebagai institusi pendidikan yang konsen dan inten dalam usaha transformasi nilai- nilai Islam harus dapat menampilkan perannya sebagai counter terhadap imperialisme kultural (cultur imperialism) yang sedang gencar-gencarnya menyerbu dunia timur (masyarakat muslim) khususnya di Indonesia.[8]
 D. Madrasah Ibtidaiyah dalam sistem Pendidikan Nasional
       Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
       Dalam perkembangannya madrasah berlangsung sangat cepat. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat 13.057 Madrasah Ibtidaiyah (MI)dengan jumlah pendaftar1.927.777 siswa. Pada pendidikan tingkat lanjutan pertama atau Madrasah Tsanawiyah (MTs) terdapat 776 madrasah dengan 87.932 siswa. Sedangkan di tingkat berikutnya atau Madrasah Aliyah (MA) terdapat 16 madrasah dengan 1.881 siswa. Jumlah peserta pendidikan ini merupakan angka yang luar biasa bagi sejarah pendidikan di Indonesia.
       Di tahun 1966, pemerintah mengizinkan madrasah swasta berubah statusnya menjadi madrasah negeri. Alhasil, ada 123 MI, 182 MTs, dan 42 MA yang menjadi madrasah negeri. Konsekuensi, manajemen madrasah secara total bergeser dari masyarakat ke pemerintah. Meskipun demikian, sekitar 90 persen madrasah masih dikelola masyarakat setempat dengan bentuk yayasan.
       Secara legal, madrasah sudah terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional sejak di-berlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Perkembangan madrasah kemudian berlangsung cepat. Di tingkat MI, siswanya mencapai 11 persen dari total siswa tingkat dasar. Di tahun 1999, terdapat 21.454 MI dan sekitar 93,2 persennya diselenggarakan oleh pihak swasta. Tahun 1999 terdapat 9.860 ma-drasah dan sekitar 88,1 persennya merupakan madrasah milik swasta.
       Melihat kenyataan tersebut sudah tidak diragukan lagi bahwa Madrasah Ibtidaiyah (MI) memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat secara historis, Madrasah memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Secara khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan:
(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, Madrasah, dan bentuk lain yang sejenis.
       Bahkan dalam PP RI NOMOR 19 THN 2005 TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN Standar Kompetensi Lulusan di jelaskan pada pasal 26 ; Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian akhlak mulia serta ketrampilan unutk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.

E. MI, Problematika, dan Tantangannya.
       Madrasah Ibtidaiyah dalam perkembangan selanjutnya, dihadapkan pada -sebuah era baru yang menuntut adanya keterbukaan di segala bidang kehidupan, era yang dipenuhi dengan persaingan dan menonjolkan keunggulan teknologi informasi dengan tanpa melihat batasan-batasn regional-  era globalisasi. Era globalisasi ini akan mendorong munculnya tatanan baru masyarakat yang juga akan melahirkan persoalan dan tantangan baru bagi madrasah.
       Madrasah Ibtidaiyah, seperti halnya lembaga pendidikan yang lain, memiliki berbagai macam persoalan yang harus diperhatikan dengan seksama dan segera dicarikan solusi bagi eksistensi dan juga untuk peningkatan mutu Madrasah Ibtidaiyah itu sendiri. Problematika  yang selama ini masih banyak di alami oleh Madrasah-Madrasah di Indonesia antara lain adalah:
1.      Evaluasi Pendidikan yang masih parsial.
            Minimal ada tiga hal yang perlu memperoleh perhatian bagi peningkatan mutu hasil belajar di Madrasah Ibtidaiyah. Pertama, sistem yang dikembangkan sekarang belum komprehensif karena lebih berorientasi kepada pengajaran sekolah umum sehingga belum menyentuh hasil belajar yang menyangkut moral dan nilai keagamaan yang menjadi keunggulan Madrasah Ibtidaiyah. Kedua, dalam instrumen standarisasi mutu yang diwujudkan dalam standar pelayanan minimal (SPM) dan pengendalian yang diwujudkan dalam sistem akreditasi nasional, lebih menitikberatkan kepada pengukuran input dalam arti statis dan kurang melihat bagaimana intensitas input itu dipergunakan untuk mendukung proses belajar mengajar. Ketiga, penilaian terhadap hasil belajar siswa secara nasional yang diwujudkan dalam bentuk Ujian Akhir Nasional (UAN) masih bersifat parsial, baik dalam artian jumlah mata pelajaran maupun cara hasil belajar itu diukur.
2.      Hasil belajar yang rendah.
            Berdasarkan data kelulusan dan nilai UAN yang tersedia menujukkan bahwa secara nasional hasil belajar siswa Madrasah lebih rendah dari sekolah umum. Poporsi siswa Madrasah yang tidak tidak lulus ujian akhir 7-10% lebih besar dari proporsi siswa sekolah umum, walaupun rata-rata nasional nilai seluruh mata pelajaran masih di bawah 6 di kedua jenis pendidikan tersebut.
3.      Penilaian kualitas berorientasi inputs.
            Sistem akredirtasi merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas Madrasah Ibtidaiyah, namun keberadaannya saat ini masih berorientasi kepada penilaian terhadap input saja. Proses ini yang demikian telah mendorong Madrasah lebih mengutamakan peningkatan input dengan kurang memperhatikan penggunaan input sebagai instrumen untuk meningkatkan hasil belajar.
4.      Sumber daya manusia.
            Peran sumber daya manusia yang utama dalam rangka peningkatan mutu pendidikan Madrasah adalah guru dan kepala sekolah, oleh karena itu UU No. 20/2003 sangat memperhatikan mereka tetapi juga mengatur standar yang ketat. Menurut data statistik banyak guru yang masih dibawah standar kualifikasi walaupun beberapa diantaranya telah berpengalaman lama dan mengikuti berbagai penataran kemampuan, tetapi hasil penataran dan kemampuan ini tidak diukur seberapa jauh meningkatkan kompetensi mengajarnya.  Sebagian guru Madrasah juga mengajar tidak sesuai dengan latar belakang bidang studinya.


5.      Kepala Madrasah.
            Dalam sistem manajemen berbasis sekolah diperlukan kepala sekolah yang inovatif, kreatif, dan berkemampuan melakukan pengelolaan sendiri baik dalam aspek pengembangan kurikulum, personalia, pembiayaan dan akuntabilitas. Semua Kepala Madrasah di Madrasah negeri adalah PNS sementara di Madrasah swasta hanya 34%. Proporsi yang memiliki kualifikasi minimal berkisar 19 sampai 31% dan kompetensi manajemennya juga masih rendah.
6.      Sarana dan prasaran pendidikan.
            Empat komponen menjadai sorotan utama dalam studi ini, yaitu: ruang kelas, buku pelajaran, laboratorium, dan perpustakaan, karena mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap hasil belajar siswa.
a)      Ruang kelas. Pada umumnya kebutuhan ruang kelas terpenuhi kecuali di MI terdapat kekurangan sekitar 400 ruang kelas di negeri dan 8000 di swasta. Sebagian diatasi dengan cara bergilir pagi siang, sebagian dengan meminjam, dan sebagian menerapkan kelas campuran. Secara keseluruhan ada 56% yang masih layak pakai, sisanya memerlukan perbaikan dan proporsi terbesar adalah di MI swasta.
b)     Buku pelajaran. Buku pelajaran pokok yang dimiliki Madrasah berkisar antara 23 sampai 92% dari yang diperlukan di Madrasah negeri dan hanya 3 sampai 8% di Madrasah swasta dari yang diperlukan untuk memenuhi satu buku satu siswa. Sebabnya bisa karena sebagian sudah rusak, sebagian tidak dikembalikan siswa, pemerintah belum dapat memberikan lengkap, atau kelemahan distribusi. Sementara itu, selain dari pemerintah Madrasah juga membeli buku sendiri untuk pegangan guru dari penerbit lain untuk memperkaya materi yang diajarkan.
c)      Perpustakaan dan laboratorium. Sekitar 40% Madrasah negeri dan 30% Madrasah swasta memiliki perpustakaan, 50% diantaranya memerlukan perbaikan. Ada sekitar 19% MTs dan MA yang memiliki laboratorium dan hanya 36% yang memerlukan perbaikan. Jumlah laboratorium komputer lebih banyak dari pada laboratorium IPA dan bahasa, menggambarkan kepekaan Madrasah dalam mengadopsi teknologi baru dan merespon kebutuhan pasar akan ketrampilan ini.
7.      Sertifikat tanah.
            Hampir semua tanah tempat Madrasah Ibtidaiyah (swasta) didirikan dan dibangun sarananya semua diperoleh dari waqaf, sayangnya lebih dari 31.000 belum disertifikatkan sehingga rawan sengketa.
8.      Rendahnya Pendapatan.
            Dari aspek pendapatan, secara nasional Madrasah negeri menerima bantuan dari pemerintah per-siswa 30% kurang dari sekolah umum, ini menggambarkan bahwa pemerintah belum memperlakukan sama antara Madrasah negeri dengan sekolah negeri. Perbedaan lebih lebar antara Madrasah negeri antar propinsi.
            Pendapatan Madrasah swasta jauh lebih rendah dari pada Madrasah Negeri dan perbedaan antar daerah bahkan lebih besar. Semakin melebar untuk Madrasah swasta yang salah satu sebabnya karena proporsi guru PNS yang dipekerjakan di Madrasah swasta jauh lebih kecil dan bahkan banyak Madrasah swasta yang tidak menerima bantuan guru PNS sama sekali, sementara di propinsi lain memperoleh 60% guru PNS yang dipekerjakan.

 9.      Pengeluaran yang besar.
            Pengeluaran terbesar anggaran Madrasah masih didominasi untuk gaji dan honorarium yang mecapai antara 60 sampai 80%. Di Madrasah swasta yang pendapatannya kecil, proporsinya ditekan sampai 50% agar untuk mendukung proses belajar mengajar lebih besar. Namun demikian dalam rupiah masih sangat kecil, yaitu Rp. 5.000,- per siswa per tahun, jumlah yang terlalu kecil untuk meningkatkan kualitas.
            Sementara, tantagan yang harus dihadapi oleh Madrasah di era globalisasi ini antara lain, pertama,  perubahan orientasi pendidikan masyarakat akibat tuntutan era industrialisasi di tengah-tengah masyarakat. Kedua, munculnya tren baru pendidikan akibat dari dampak lanjutan perubahan orientasi pendidikan masyarakat di atas, yakni tren yang menjadikan pendidikan umum lebih diprioritaskan dibandingkan dengan pendidikan agama. ketiga,  kenyataan bahwa, dewasa ini, kualitas layanan pendidikan yang diberikan oleh Madrasah dinilai masih rendah daripada layanan pendidikan yang diberikan oleh sekolah umum, apalagi negeri.
F.    Desentralisasi Pendidikan dan Upaya Revitalisasi Madrasah Ibtidaiyah
       Desentralisasi di bidang pendidikan adalah pemindahan wewenang dalam pengaturan pelayanan dan fungsi-fungsi pengaturan dari Pemerintah Pusat kepada Kabupaten/Kota, dan sebagian pengelolaan diberikan ke sekolah dengan prinsip manajemen berbasis sekolah. Prinsip-prinsip desentralisasi seperti dinyatakan dalam UU No.22/1999 adalah demokrasi, partisipasi masyarakat persamaan, pemerataan, dan kemandirian dalam hal-hal yang diserahkan, dengan memperhatikan keberagaman potensi Daerah dan menjalin hubungan yang hamonis antara tingkat pusat dan daerah, dengan meningkatkan peran perwakilan daerah dan menyediakan dukungan finansial. Terdapat dua hal pokok yang terdapat pada UU No. 22 dan 25 tahun 1990 tentang desentralisasi dan Otonomi Daerah, yakni:
1.      Adanya perubahan piramida kewenangan Pemerintahan. Pasal 10, meletakkan otonomi luas dan utuh pada Kabupaten/Kota. Pasal 9, otonomi provinsi merupakan otonomi yang terbatas dan pasal 112 provinsi di amanatkan sebagai fasilitator dan perekat.
2.      Pembanguna paradigma baru, diantaranya
a)      Demokratisasi penyelenggaraan
b)      Pemberdayaan aparat dan masyarakat (peningkatan partisipasi dan tanggung jawab)
c)      Peningkatan pelayanan umum kepada masyarakat (pengembangan kewajiban dan hak sipil).[9]




Download now

Tidak ada komentar:

Posting Komentar