SEJARAH PERKEMBANGAN
MADRASAH IBTIDAIYAH DI INDONESIA
OLEH : Eko Hadi Susanto
Perjalanan Madrasah Ibtidaiyah di Indonesia
A.
PENGERTIAN MADRASAH
Kata
madrasah dalam bahasa Arab berarti tempat atau wahana untuk mengenyam proses
pembelajaran. Dalam bahasa Indonesia madrasah disebut dengan sekolah yang
berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran. Karenanya,
istilah madrasah tidak hanya diartikan sekolah dalam arti sempit, tetapi juga
bisa dimaknai rumah, istana, kuttab,
perpustakaan, surau, masjid, dan lain-lain, bahkan seorang ibu juga bisa
dikatakan madrasah pemula.
sementara Karel A. steenbrik justru membedakan antara madrasah dan
sekolah-sekolah, dia beralasan bahwa antara madrasah dan sekolah mempunyai ciri
yang berbeda. Meskipun demikian, dalam konteks ini penulis cenderung untuk
menyamakan arti madrah dan sekolah.
Pertama
kali timbul istilah “Madrasah” adalah berkenaan dengan upaya khalifah Abbasiyah
Harun al-Rasyid guna menyediakan fasilitas belajar ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu
penopang lainnya dilingkungan klinik (Bimaristain) yang dibangunya di Baghdad.
Komplek ini dikenal dengan sebutan “Madrasah Baghdad”. Namun kelihatannya
pemakaian istilah tersebut cenderung anatema, terutama kalau diperhatikan tidak
adanya kelanjutan dari madrasah Baghdad, kecuali munculnya Bait al-Hikmah
dimasa Makmun.[1]
Dari
pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah wadah atau tempat
belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan keahlian lainnya yang
berkembang pada zamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah
madrasah bersumber dari Islam itu sendiri.[2]
B.
Sejarah madrasah di indonesia
Madrasah
adalah saksi perjuangan pendidikan yang tak kenal henti. Pada jaman penjajahan
Belanda madrasah didirikan untuk semua warga.Sejarah mencatat , Madrasah pertama
kali berdiri di Sumatra, Madrasah Adabiyah ( 1908, dimotori Abdullah Ahmad),
tahun 1910 berdiri madrasah Schoel di Batusangkar oleh Syaikh M. Taib Umar,
kemudian M. Mahmud Yunus pada 1918 mendirikan Diniyah Schoel sebagai lanjutan
dari Madrasah schoel, Madrasah Tawalib didirikan Syeikh Abdul Karim Amrullah di
Padang Panjang (1907). lalu, Madrasah Nurul Uman didirikan H. Abdul Somad
di Jambi.
Madrasah
berkembang di jawa mulai 1912. ada model madrasah pesantren NU dalam bentuk
Madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Mualimin Wustha, dan Muallimin
Ulya ( mulai 1919), ada madrasah yang mengaprosiasi sistem pendidikan
belanda plus, seperti muhammadiyah ( 1912) yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah,
Tsanawiyah, Muallimin, Mubalighin, dan Madrasah Diniyah. Ada juga model
AL-Irsyad ( 1913) yang mendirikan Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassus,
atau model Madrasah PUI di Jabar yang mengembangkan madrasah pertanian, itulah
singkat tentang sejarah madrasah di indonesia.
Dari
jaman penjajahan, orde lama, orde baru, era repormasi sampai era sby, nasib
madrasah di indonesia sangatlah memperihatinkan dan seolah-olah di anaktirikan
oleh pemerintah, padahal ada banyak sekali elit politik yang duduk di kursi
DPR, MPR, ISTANA dan lembaga kebijakan negara lainnya yang lahir dan berlatar
belakang dari madrasah, lulusan madrasah tidak bisa di pandang sebelah mata
atau juga di anggap remeh, justru lulusan-lulusan madrasah memiliki nilai lebih
bukan saja karen faktor agama yang diperdalam tapi banyak faktor lainnya.[3]
Organisasi-organisasi
yang mempunyai peranan besar dalam perkembangan madrasah di Indonesia antara
lain :
1.
Nahdhatul ‘Ulama (NU) NU didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya dengan
tokoh yang memprakasai berdirinya K.H. Hasyim’Asyari dan K.H Wahab Hasbullah.
2.
Perhimpunan Umat Islam
Ini merupakan
fusi Perikatan Umat Islam yang didirikan di Majalengka Jawa Barat oleh K.H
A.Halim pada rahun 1917 dan Al-Ittihad Al-Islamiyah yang didirikan di Suka Bumi
oleh K.H A.Sanusi pada tahun 1931.
3.
Persatuan Islam (Persis)Persis merupakan organisasi sosial, pendidikan, dan
keagamaan yang didirikan di Bandung pada 17 September 1923 atas prakasa K.H
M.Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dua orang saudagar asal Palembang yang telah
lama menetap di Jawa Barat. Persis memiliki beberapa lembaga pendidikan, di
antranya Taman Kanak-kanak HIS, sekolah MULO, Sekolah Guru dan beberapa
pesantren.
4.
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI)
PERTI merupakan
organisasi sosial yang didirikan pada 5 Mei 1930 di Candung, Bukit Tinggi.
Bergerak dalam bidang sosial, pendidikan dan dakwah. Pendirinya adalah para
alim ulama’ tersohor di Sumatra Barat, di antaranya ialah Syekh Suleman
Arrasuli Candung, Syekh Muhammad Abbas Al-Kadi Bukit Tinggi, Syekh Muhammad Jamil
Jaho Padang Panjang, dan Syekh Abdul Wahid Tabek Gadang.
5.
Perserikatan Ulama’
Organisasi
ini didirikan pada tahun 1917 di Majalengka oleh K.H Abdul Halim.
6.
Al-Jam’iyatul Washiliyah Al-Jam’iyatul Washiliyah adalah organisasi
kemasyarakatan yang bergerak di bidang sosial keagamaan di Indonesia.
Organisasi ini didirikan di Medan, Sumatra Utara pada 30 November 1930 (9 Rajab
1349 H). Organisasi ini didirikan atas inisiatif sekelompok siswa Maktab
Islamiyah Tapanuli Medan yang tergabung dalam sebuah kelompok diskusi yang
bernama “Debating Club”.[4]
C. Perkembangan
Madrasah di Indonesia
a. Masa
Penjajahan
Pada masa pemerintah kolonial
Belanda Madrasah tumbuh atas dasar semangat pembaharuan dikalangan umat Islam.
Pertumbuhan Madrasah menunjukkan adanya pola respon umat Islam yang lebih progresif,
tidak semata- mata bersifat defensif terhadap pendidikan Hindia Belanda, kebijakan pemerintah Hindia Belanda sendiri terhadap pendidikan Islam pada
dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya militansi kaum
muslimin terpelajar. Dalam banyak kasus sering terjadi guru-guru agama
dipersalahkan ketika menghadapi gerakan kristenisasi dengan alasan ketertiban
dan keamanan.
Madrasah pada masa Hindia Belanda mulai tumbuh meskipun memperoleh pengakuan
yang setengah-setengah dari pemerintah Belanda. Tetapi pada umumnya madrasah-
madrasah itu, baik di Minangkabau, Jawa dan Kalimantan, berdiri semata-mata
karena kreasi tokoh dan organisasi tertentu tanpa dukungan dan legitimasi
dari pemerintah.
Pemerintah
Kolonial menolak eksistensi pondok pesantren dalam sistem pendidikan yang
hendak dikembangkan di Hindia Belanda. Kurikulum maupun metode pembelajaran
keagamaan yang dikembangkan di pondok pesantren bagi pemerintah kolonial, tidak
kompatibel dengan kebijakan politik etis dan modernisasi di Hindia Belanda. Di
balik itu, pemerintah kolonial mencurigai peran penting pondok pesantren dalam
mendorong gerakan-gerakan nasionalisme dan prokemerdekaan di Hindia Belanda.
Menyikapi kebijakan tersebut, tokoh-tokoh muslim di Indonesia akhirnya
mendirikan dan mengembangkan madrasah di Indonesia didasarkan pada tiga
kepentingan utama, yaitu:
- Penyesuaian dengan politik pendidikan pemerintah kolonial.
- Menjembatani perbedaan sistem pendidikan keagamaan dengan sistem pendidikan modern.
- Agenda modernisasi Islam itu sendiri.
Pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah
mengantarkan pendidikan Islam ke dalam babak sejarah baru, yang antara lain
ditandai dengan pengukuhan sistem pendidikan Islam sebagai pranata pendidikan
nasional. Lembaga-lembaga pendidikan Islam kini memiliki peluang lebih besar
untuk tumbuh dan berkembang serta meningkatkan kontribusinya dalam pembangunan
pendidikan nasional.
Di dalam Undang-Undang itu setiap kali disebutkan sekolah, misalnya pada
jenjang pendidikan dasar yaitu sekolah dasar, selalu dikaitkan dengan madrasah
ibtidaiyah, disebutkan sekolah menengah pertama dikaitkan dengan madrasah
tsanawiyah, disebutkan sekolah menengah dikaitkan dengan madrasah aliyah, dan
lembaga-lembaga pendidikan lain yang sederajat, begitu pula dengan lembaga
pendidikan non formal.[5]
Kebijakan yang kurang menguntungkan terhadap pendidikan Islam masih
berlanjut pada masa penjajahan Jepang, meskipun terdapat beberapa modifikasi.
Berbeda dengan pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan Jepang membiarkan
dibukanya kembali madrasah-madrasah yang pernah ditutup pada masa sebelumnya.
Namun demikian, pemerintah Jepang tetap mewaspadai bahwa madrasah-madrasah itu
memiliki potensi perlawanan yang membahayakan bagi pendidikan Jepang di
Indonesia.
Dalam Undang- undang No. 4 tahun 1950 Jo No. 12 tahun 1954 tentang
dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah dalam pasal 2 ditegaskan bahwa Undang-undang ini tidak berlaku untuk pendidikan dan
pengajaran di sekolah-sekolah agama. Dan dalam pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa
pendidikan agama di sekolah bukan masa pelajaran wajib dan bergantung pada
persetujuan orang tua siswa. Dengan rekomendasi ini, madrasah tetap berada di luar
sistem pendidikan nasional, tetapi sudah merupakan langkah
pengakuan akan eksistensi madrasah dalam kerangka pendidikan nasional.
b. Madrasah Pada Masa Orde Lama.
Madrasah pada Awal Masa Kemerdekaan. Di awal
kemerdekaan, tidak dengan sendirinya madrasah dimasukkan kedalam system
pendidikan nasional. Madrasah memang tetap hidup, tetapi tidak memperoleh
bantuan sepenuhnya dari pemerintahan. Adanya perhatian pemerintah baru
diwujudkan denagan PP No. 33 Tahun 1949 dan PP No. 8 Tahun 1950, yang sebelumnya
telah dikeluarkan peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946, No. 7 Tahun 1952,
No. 2 Tahun 1960 dan terakhir No. 3 Tahun 1979 tentang pemberian bantuan kepada
madrasah. Ditinjau dari segi jenis madrasah berdasarkan kurikulum dapat dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu: Madrasah Diniyah, Madrasah SKB 3 Mentri dan Madrasah
Pesantren. Madrasah Diniyah adalah suatu bentuk madrasah yang hanya mengajarkan
ilmu-ilmu agama (diniyah).[6]
Memasuki awal orde lama, pemerintah membentuk departemen agama yang resmi
berdiri pada Tanggal 3 Januari 1946. Lembaga inilah yang secara intensif
memperjuangkan pendidikan islam di Indonesia. Orientasi usaha departemen agama
dalam bidang pendidikan islam bertumpu pada aspirasi umat islam agar pendidikan
agama diajarkan di sekolah-sekolah. Disamping Pada pengembangan madrasah itu
sendiri.
Salah satu perkembangan madrasah yang cukup menonjol pada masa orde
lama ialah: Didirikan dan dikembangkannya pendidikan guru agama dan pendidikan
hakim islam negri. madrasah ini menandai perkembangan yang sangat penting di
mana madrasah dimaksudkan untuk mencetak tenaga-tenaga professional keagamaan,
disamping mempersiapkan tenaga-tenaga yang siap mengembangkan madrasah.
Pada Tanggal 3 Desember 1960 keluar ketetapan MPRS no II/MPRS/1960 tentanng
“garis-garis besar pola pembangunan nasional semesta berencana, tahapan pertama
tahun 1961-1969” ketetapan ini menyebutkan bahwa pendidikan agama menjadi mata
pelajaran di sekolah-sekolah mulai di sekolah rakyat sampai
universitas-universitas negri,dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak
ikut serta, apabila wali murid atau murid dewasa menyatakan keberatannya. Namun
demikian, dalam kaitannya dengan madrasah ketetapan ini telah memberi perhatian
meskipun tidak terlalu berarti, dengan merekomondasikan agar madrasah hendaknya
berdiri sendiri sebagai badan otonom dibawah pengawasan departemen pendidikan
dan kebudayaan.
c. Masa Orde
Baru
Pembinaan
Pemerintah Terhadap Madrasah
Usaha
peningkatan dan pembinaan dalam pendidikan madrasah ini kembali
terwujud dengan adanya Surat Keputusan Besama (SKB) pada tahun 1975
yang menegaskan bahwa : yang dimaksud madrasah adalah lembaga pendidikan yang
menjadikan agama Islam sebagai mata pelajaran dasar, yang diberikan
sekurang-kurangnya 30% di samping matapelajaran umum.
1.
MadarasahIbtidaiyah setingkat dengan pendidikan dasar.
2.
Madrsah Tsanawiyah setingkat dengan Sekolah Menengah
Pertama
3.
Madrasah Aliyah setingkat dengan Sekolah Menengah Atas
Pembinaan dan pengembangan madrasah
versi SKB Tiga menteri terus berlangsung dengan tujuan mencapai mutu yang
dicita-citakan. Penyamaan madrasah dengan sekolah umum tidak hanya dalam hal
penjenjangan saja, namun juga dalam hal struktur program dan kurikulum juga
mengalami pembakuan dan penyeragaman setidaknya itu diperkuat dengan terbitnya
Keputusan Besama Menteri Pendidian dan kebudayaan dengan Menteri Agama
No. 0299/U/1984 dan No. 45 Tahun1984, tentang Pengaturan Pembakuan Kurikulum
Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah. Perbedaan terlihat pada identitas
madrasah, yang menjadikan pendidikan dengan pelajaran agama sebagai mata
pelajaran dasar sekurang-kurangnya 30% di samping mata pelajaran umum.[7]
Pada
masa orde baru pemerintah mulai memikirkan kemungkinan mengintegrasikan
madrasah ke dalam pendidikan nasional. Berdasarkan SKB (Surat Keputusan
Bersama) tiga dimensi, yaitu Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
dan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1975, Nomor 037/4 1975 dan Nomor 36
tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah ditetapkan bahwa
standar pendidikan madrasah sama dengan sekolah umum, ijazahnya mempunyai nilai
yang sama dengan sekolah umum dan lulusannya dapat melanjutkan ke sekolah umum
setingkat lebih atas dan siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang
setingkat. Lulusan Madrasah Aliyah dapat melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi
umum dan agama.
Pemerintah orde baru melakukan langkah konkrit berupa penyusunan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional. Dalam
konteks ini, penegasan definitif tentang madrasah diberikan melalui
keputusan-keputusan yang lebih operasional dan dimasukkan dalam kategori
pendidikan sekolah tanpa menghilangkan karakter keagamaannya. Melalui upaya ini
dapat dikatakan bahwa Madrasah berkembang secara terpadu dalam sistem pendidikan nasional. Pada masa orde baru ini madrasah mulai dapat diterima oleh semua lapisan
masyarakat mulai dari masyarakat kelas rendah sampai masyarakat menengah
keatas.
Sedangkan pertumbuhan jenjangnya menjadi 5 (jenjang) pendidikan yang secara
berturut-turut sebagai
berikut :
1) Raudatul
Atfal (Bustanul Atfal).
Raudatul Atfal atau Bustanul Atfal terdiri dari 3 tingkat :
1. Tingkat A
untuk anak umur 3-4 tahun
2. Tingkat B untuk anak umur 4-5 tahun
3. Tingkat
C untuk anak umur 5-6 tahun
2) Madrasah Ibtidaiyah.
Madrasah
Ibtidaiyah ialah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran
rendah serta menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar
yang sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum.
3) Madrasah Tsanawiyah
Madrasah
Tsanawiyah ialah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran
tingkat menengah pertama dan menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata
pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum.
4) Madrasah Aliyah.
Madrasah
Aliyah ialah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran
tingkat menengah keatas dan menjadikan mata pelajaran agama Islam. Sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya 30% disamping mata
pelajaran umum. Dewasa ini Madrasah Aliyah memiliki jurusan-jurusan : Ilmu
Agama, Fisika, Biologi, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Budaya.
5) Madrasah Diniyah
Madrasah Diniyah ialah lembaga pendidikan dan pelajaran agama Islam, yang
berfungsi terutama untuk memenuhi hasrat orang tua agar anak-anaknya lebih
banyak mendapat pendidikan agama Islam. Madrasah Diniyah ini terdiri 3
tingkat :
1. Madrasah
Diniyah Awaliyah ialah Madrasah Diniyah tingkat permulaan dengan kelas 4 dengan
jam belajar sebanyak 18 jam pelajaran dan seminggu.
2. Madrasah
Diniyah Wusta ialah Madrasah Diniyah tingkat pertama dengan masa belajar 2
(dua) tahun dari kelas I sampai kelas II dengan jam belajar sebanyak 18 jam
pelajaran dalam seminggu.
3. Madrasah
Diniyah Ula ialah Madrasah Diniyah tingkat menengah atas dengan masa belajar 2
tahun dari kelas I sampai kelas II dengan jumlah jam pelajaran 18 jam pelajaran
dalam seminggu.
d. Masa
Sekarang
Era
globalisasi dewasa ini dan dimasa datang sedang dan akan mempengaruhi
perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia umumnya, atau pendidikan
Islam, termasuk pesantren dan Madrasah khususnya. Argumen panjang lebar tak
perlu dikemukakan lagi, bahwa masyarakat muslim tidak bisa menghindari diri
dari proses globalisasi tersebut, apalagi jika ingin berjaya ditengah perkembangan
dunia yang kian kompetitif di masa kini dan abad 21.
Globalisasi yang berlangsung dan melanda masyarakat muslim Indonesia
sekarang ini menampilkan sumber dan watak yang berbeda. Proses globalisasi
dewasa ini tidak bersumber dari Timur Tengah, melainkan dari barat, yang terus
memegang supremasi dan hegemoni dalam berbagai lapangan kehidupan
masyarakat dunia umumnya. Dominasi dan hegemoni politik barat dalam segi-segi
tertentu mungkin saja telah “merosot”, khususnya sejak terakhirnya perang dunia
kedua, dan “perang dingin”. Belum lama ini, tetapi hegemoni ekonomi dan sains-teknologi barat tetap belum tergoyahkan. Meski muncul
beberapa kekuatan ekonomi baru, seperti Jepang dan Korea Selatan, tetapi
“kultur” hegemoni ekonomi dan sains teknologinya tetap sarat dengan nilai-nilai
Barat.
Melihat begitu derasnya pengaruh barat yang mengarah pada hegemoni terhadap
masyarakat muslim dalam segala aspek kehidupannya, maka madrasah harus segera
berbenah diri. Madrasah sebagai institusi pendidikan yang konsen dan inten dalam
usaha transformasi nilai- nilai Islam harus dapat menampilkan perannya sebagai counter
terhadap imperialisme kultural (cultur imperialism) yang sedang
gencar-gencarnya menyerbu dunia timur (masyarakat muslim) khususnya di
Indonesia.[8]
D. Madrasah Ibtidaiyah
dalam sistem Pendidikan Nasional
Pendidikan
dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau
bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
Dalam
perkembangannya madrasah berlangsung sangat cepat. Pada pertengahan tahun
1960-an, terdapat 13.057 Madrasah Ibtidaiyah (MI)dengan jumlah
pendaftar1.927.777 siswa. Pada pendidikan tingkat lanjutan pertama atau
Madrasah Tsanawiyah (MTs) terdapat 776 madrasah dengan 87.932 siswa. Sedangkan
di tingkat berikutnya atau Madrasah Aliyah (MA) terdapat 16 madrasah dengan
1.881 siswa. Jumlah peserta pendidikan ini merupakan angka yang luar biasa bagi
sejarah pendidikan di Indonesia.
Di
tahun 1966, pemerintah mengizinkan madrasah swasta berubah statusnya menjadi
madrasah negeri. Alhasil, ada 123 MI, 182 MTs, dan 42 MA yang menjadi madrasah
negeri. Konsekuensi, manajemen madrasah secara total bergeser dari masyarakat
ke pemerintah. Meskipun demikian, sekitar 90 persen madrasah masih dikelola
masyarakat setempat dengan bentuk yayasan.
Secara
legal, madrasah sudah terintegrasi
dalam sistem pendidikan nasional sejak di-berlakukannya Undang-Undang (UU)
Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Perkembangan madrasah
kemudian berlangsung cepat. Di tingkat MI, siswanya mencapai 11 persen dari
total siswa tingkat dasar. Di tahun 1999, terdapat 21.454 MI dan sekitar 93,2 persennya
diselenggarakan oleh pihak swasta. Tahun 1999 terdapat 9.860 ma-drasah dan
sekitar 88,1 persennya merupakan madrasah milik swasta.
Melihat
kenyataan tersebut sudah tidak diragukan lagi bahwa Madrasah Ibtidaiyah (MI)
memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat secara
historis, Madrasah memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan
mengembangkan masyarakat. Secara khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan
ini dijelaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan:
(1) Pendidikan
keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari
pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pendidikan
keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu
agama.
(3) Pendidikan
keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan
informal.
(4) Pendidikan
keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, Madrasah, dan bentuk lain yang sejenis.
Bahkan
dalam PP RI NOMOR 19 THN 2005 TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN Standar
Kompetensi Lulusan di jelaskan pada pasal 26 ; Standar kompetensi lulusan pada
jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian akhlak mulia serta ketrampilan unutk hidup mandiri dan
mengikuti pendidikan lebih lanjut.
E. MI, Problematika, dan
Tantangannya.
Madrasah
Ibtidaiyah dalam perkembangan selanjutnya, dihadapkan pada -sebuah era baru
yang menuntut adanya keterbukaan di segala bidang kehidupan, era yang dipenuhi
dengan persaingan dan menonjolkan keunggulan teknologi informasi dengan tanpa
melihat batasan-batasn regional- era globalisasi. Era globalisasi ini
akan mendorong munculnya tatanan baru masyarakat yang juga akan melahirkan
persoalan dan tantangan baru bagi madrasah.
Madrasah Ibtidaiyah, seperti halnya
lembaga pendidikan yang lain, memiliki berbagai macam persoalan yang harus
diperhatikan dengan seksama dan segera dicarikan solusi bagi eksistensi dan
juga untuk peningkatan mutu Madrasah Ibtidaiyah itu sendiri. Problematika
yang selama ini masih banyak di alami oleh Madrasah-Madrasah di Indonesia
antara lain adalah:
1.
Evaluasi Pendidikan yang masih parsial.
Minimal
ada tiga hal yang perlu memperoleh perhatian bagi peningkatan mutu hasil
belajar di Madrasah Ibtidaiyah. Pertama,
sistem yang dikembangkan sekarang belum komprehensif karena lebih berorientasi
kepada pengajaran sekolah umum sehingga belum menyentuh hasil belajar yang
menyangkut moral dan nilai keagamaan yang menjadi keunggulan Madrasah
Ibtidaiyah. Kedua,
dalam instrumen standarisasi mutu yang diwujudkan dalam standar pelayanan
minimal (SPM) dan pengendalian yang diwujudkan dalam sistem akreditasi
nasional, lebih menitikberatkan kepada pengukuran input dalam arti statis dan
kurang melihat bagaimana intensitas
input itu dipergunakan untuk mendukung proses belajar mengajar. Ketiga, penilaian terhadap
hasil belajar siswa secara nasional yang diwujudkan dalam bentuk Ujian Akhir
Nasional (UAN) masih bersifat parsial, baik dalam artian jumlah mata pelajaran
maupun cara hasil belajar itu diukur.
2.
Hasil belajar yang rendah.
Berdasarkan
data kelulusan dan nilai UAN yang tersedia menujukkan bahwa secara nasional
hasil belajar siswa Madrasah lebih rendah dari sekolah umum. Poporsi siswa
Madrasah yang tidak tidak lulus ujian akhir 7-10% lebih besar dari proporsi
siswa sekolah umum, walaupun rata-rata nasional nilai seluruh mata pelajaran
masih di bawah 6 di kedua jenis pendidikan tersebut.
3.
Penilaian kualitas berorientasi inputs.
Sistem
akredirtasi merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas Madrasah Ibtidaiyah,
namun keberadaannya saat ini masih berorientasi kepada penilaian terhadap input
saja. Proses ini yang demikian telah mendorong Madrasah lebih mengutamakan peningkatan input dengan
kurang memperhatikan penggunaan
input sebagai instrumen untuk meningkatkan hasil belajar.
4.
Sumber daya manusia.
Peran
sumber daya manusia yang utama dalam rangka peningkatan mutu pendidikan
Madrasah adalah guru dan kepala sekolah, oleh karena itu UU
No. 20/2003 sangat memperhatikan mereka tetapi juga mengatur standar yang
ketat. Menurut data statistik banyak guru yang masih dibawah standar
kualifikasi walaupun beberapa diantaranya telah berpengalaman lama dan
mengikuti berbagai penataran kemampuan, tetapi hasil penataran dan kemampuan
ini tidak diukur seberapa jauh meningkatkan kompetensi mengajarnya.
Sebagian guru Madrasah juga mengajar tidak sesuai dengan latar belakang bidang
studinya.
5.
Kepala Madrasah.
Dalam
sistem manajemen berbasis sekolah diperlukan kepala sekolah yang inovatif,
kreatif, dan berkemampuan melakukan pengelolaan sendiri baik dalam aspek
pengembangan kurikulum, personalia, pembiayaan dan akuntabilitas. Semua Kepala
Madrasah di Madrasah negeri adalah PNS sementara di Madrasah swasta hanya 34%.
Proporsi yang memiliki kualifikasi minimal berkisar 19 sampai 31% dan
kompetensi manajemennya juga masih rendah.
6.
Sarana dan prasaran pendidikan.
Empat
komponen menjadai sorotan utama dalam studi ini, yaitu: ruang kelas, buku
pelajaran, laboratorium, dan perpustakaan, karena mempunyai kontribusi yang
signifikan terhadap hasil belajar siswa.
a)
Ruang kelas. Pada umumnya kebutuhan ruang kelas terpenuhi kecuali di
MI terdapat kekurangan sekitar 400 ruang kelas di negeri dan 8000 di swasta.
Sebagian diatasi dengan cara bergilir pagi siang, sebagian dengan meminjam, dan
sebagian menerapkan kelas campuran. Secara keseluruhan ada 56% yang masih layak
pakai, sisanya memerlukan perbaikan dan proporsi terbesar adalah di MI swasta.
b)
Buku pelajaran. Buku pelajaran pokok yang dimiliki Madrasah berkisar
antara 23 sampai 92% dari yang diperlukan di Madrasah negeri dan hanya 3 sampai
8% di Madrasah swasta dari yang diperlukan untuk memenuhi satu buku satu siswa.
Sebabnya bisa karena sebagian sudah rusak, sebagian tidak dikembalikan siswa,
pemerintah belum dapat memberikan lengkap, atau kelemahan distribusi. Sementara
itu, selain dari pemerintah Madrasah juga membeli buku sendiri untuk pegangan
guru dari penerbit lain untuk memperkaya materi yang diajarkan.
c)
Perpustakaan dan laboratorium. Sekitar 40% Madrasah negeri dan 30%
Madrasah swasta memiliki perpustakaan, 50% diantaranya memerlukan perbaikan. Ada
sekitar 19% MTs dan MA yang memiliki laboratorium dan hanya 36% yang memerlukan
perbaikan. Jumlah laboratorium komputer lebih banyak dari pada laboratorium IPA
dan bahasa, menggambarkan kepekaan Madrasah dalam mengadopsi teknologi baru dan
merespon kebutuhan pasar akan ketrampilan ini.
7.
Sertifikat tanah.
Hampir
semua tanah tempat Madrasah Ibtidaiyah (swasta) didirikan dan dibangun
sarananya semua diperoleh dari waqaf, sayangnya lebih dari 31.000 belum
disertifikatkan sehingga rawan sengketa.
8.
Rendahnya Pendapatan.
Dari
aspek pendapatan, secara nasional Madrasah negeri menerima bantuan dari
pemerintah per-siswa 30% kurang dari sekolah umum, ini menggambarkan bahwa
pemerintah belum memperlakukan sama antara Madrasah negeri dengan sekolah negeri.
Perbedaan lebih lebar antara Madrasah negeri antar propinsi.
Pendapatan
Madrasah swasta jauh lebih rendah dari pada Madrasah Negeri dan perbedaan antar
daerah bahkan lebih besar. Semakin melebar untuk Madrasah swasta yang salah
satu sebabnya karena proporsi guru PNS yang dipekerjakan di Madrasah swasta
jauh lebih kecil dan bahkan banyak Madrasah swasta yang tidak menerima bantuan
guru PNS sama sekali, sementara di propinsi lain memperoleh 60% guru PNS yang
dipekerjakan.
9. Pengeluaran
yang besar.
Pengeluaran
terbesar anggaran Madrasah masih didominasi untuk gaji dan honorarium yang
mecapai antara 60 sampai 80%. Di Madrasah swasta yang pendapatannya kecil,
proporsinya ditekan sampai 50% agar untuk mendukung proses belajar mengajar
lebih besar. Namun demikian dalam rupiah masih sangat kecil, yaitu Rp. 5.000,-
per siswa per tahun, jumlah yang terlalu kecil untuk meningkatkan kualitas.
Sementara,
tantagan yang harus dihadapi oleh Madrasah di era globalisasi ini antara lain, pertama, perubahan
orientasi pendidikan masyarakat akibat tuntutan era industrialisasi di
tengah-tengah masyarakat. Kedua,
munculnya tren baru pendidikan akibat dari dampak lanjutan perubahan orientasi
pendidikan masyarakat di atas, yakni tren yang menjadikan pendidikan umum lebih
diprioritaskan dibandingkan dengan pendidikan agama. ketiga, kenyataan bahwa,
dewasa ini, kualitas layanan pendidikan yang diberikan oleh Madrasah dinilai
masih rendah daripada layanan pendidikan yang diberikan oleh sekolah umum,
apalagi negeri.
F.
Desentralisasi Pendidikan dan Upaya Revitalisasi Madrasah Ibtidaiyah
Desentralisasi
di bidang pendidikan adalah pemindahan wewenang dalam pengaturan pelayanan dan
fungsi-fungsi pengaturan dari Pemerintah Pusat kepada Kabupaten/Kota, dan
sebagian pengelolaan diberikan ke sekolah dengan prinsip manajemen berbasis
sekolah. Prinsip-prinsip desentralisasi seperti dinyatakan dalam UU No.22/1999
adalah demokrasi, partisipasi masyarakat persamaan, pemerataan, dan kemandirian
dalam hal-hal yang diserahkan, dengan memperhatikan keberagaman potensi Daerah
dan menjalin hubungan yang hamonis antara tingkat pusat dan daerah, dengan
meningkatkan peran perwakilan daerah dan menyediakan dukungan finansial. Terdapat
dua hal pokok yang terdapat pada UU No. 22 dan 25 tahun 1990 tentang
desentralisasi dan Otonomi Daerah, yakni:
1.
Adanya perubahan piramida kewenangan Pemerintahan. Pasal 10, meletakkan otonomi
luas dan utuh pada Kabupaten/Kota. Pasal 9, otonomi provinsi merupakan otonomi
yang terbatas dan pasal 112 provinsi di amanatkan sebagai fasilitator dan
perekat.
2.
Pembanguna paradigma baru, diantaranya
a)
Demokratisasi penyelenggaraan
b)
Pemberdayaan aparat dan masyarakat (peningkatan partisipasi dan tanggung jawab)
c)
Peningkatan pelayanan umum kepada masyarakat (pengembangan kewajiban dan hak
sipil).[9]
Download now
Tidak ada komentar:
Posting Komentar